conceptnova

Helping you to bring your concepts and ideas to life.

Innovative Player Control: 360º Dribbling

Innovative Player Control: 360º Dribbling

Facebook | Pojok Pju

Facebook Pojok Pju

AKTIVITAS VS AKTIFITAS

PENULISAN BAHASA SERAPAN AKTIVITAS





Maaf agak "nlyeneh" atau "geser" sedikit dari tema PJU.


Sebenarnya apa yang dipedulikan terhadap kata "Aktivitas" dan "Aktifitas". Kalau kita membaca koran, majalah, ulasan, blog, atau bahkan karya ilmiah yang memuat tentang kata "Aktivitas" ditulis "Aktifitas" menjadi berdebatan panjang, karena terdapat kata "Aktif". Saya pernah berdebat dengan beberapa kolega yang menganut aliran "Aktifitas" dengan tanpa hasil. Nah tulisan singkat ini, saya hanya ingin membuktikan siapa yang benar apakah "Aktivitas" atau "Aktifitas". Tugas ini mestinya sudah dilakukan oleh Dinas atau Departemen Pendidikan khususnya yang menggeluti pengembangan Bahasa Indonesia. Namun tidak salah, saya juga ingin andil, karena masih banyak yang menganut aliran "Aktifitas".



Yuk kita mulai membahasnya:

Bahasa Indonesia hampir banyak menyerap bahasa asing dan daerah menjadi Bahasa Indonesia, terutama Bahasa Inggris. Demikian pula kata "Aktivitas". Berikut kita urai biar tidak "kebablasan".



Teorinya:

TEORI 1:
Kalau belum berubah (pelajaran SD-SMU) mengajarkan bahwa semua kata yang berasal dari bahasa asing (Bahasa Inggris) "ive" menjadi "if". Contoh: "Active" dari Bahasa Inggris, diserap oleh Bahasa Indonesia menjadi "Aktif". Rata-rata akhiran "ive" ini merupakan kata sifat. Contoh lain:



Asal kata (Kata Sifat): Relative menjadi Relatif; Objective menjadi Objektif; Productive menjadi Produktif.

TEORI 2:

Teori Serapan kata benda dari bahasa asing (Bahasa Inggris) "TY" menjadi "TAS". Contoh:
Asal kata (Kata Benda): Relativity menjadi Relativitas; Objectivity menjadi Obyektivitas; Productivity menjadi Produktivitas, "University" menjadi Universitas.


Nah kita menguji "ACTIVITY"


Teori 1: Kata Sifatnya "Ativity" adalah "Active", maka Penulisannya ke dalam Bahasa Indonesia menjadi "Aktif".
Sementara Teori 2: Kata Bendanya "ACTIVE" adalah "ACTIVITY", maka bila ada akhiran "ty" menjadi "tas", maka dari Activity menjadi Aktivitas.

Dengan demikian, Kata sifat "ACTIVE" (Bahasa Inggris) = AKTIF (Bahasa Indonesia)
Kata benda "ACITIVITY" (Bahasa Inggris) = AKTIVITAS (Bahasa Indonesia)
Sehingga tulisan kata AKTIFITAS salah karena menggabungkan teori 1 dan 2 menjadi tumpang tindih (overlap).

Semoga tulisan ini bermanfaat.

PJU BANJAR GANTI LAMPU HEMAT ENERGI - Kabar Terkini - tvOne Memang Beda

PJU BANJAR GANTI LAMPU HEMAT ENERGI - Kabar Terkini - tvOne Memang Beda

INSERT: KWH METER PRA BAYAR UNTUK PJU?

PREDIKSI kWh METER PRA BAYAR UNTUK PJU?


Ketika saya sedang ke rumah temen di Karawang akhir 2009, kWh meter rumahnya telah diganti dengan kWh meter pra-bayar. Saya sendiri menyaksikan proses penggantian kWh meter lama menuju kWh meter pra-bayar. Kurang lebih 5 bulan sebelumnya, saya diajak rekenan bisnis introduction show-route ke seluruh PLN Jawa-Bali. Dalam batin saya, semakin yakin kalau trend ke depan kWh meter pra bayar akan menjadi alternatif pilihan masyarakat yang semakin hari semakin on-line, crowded, dan digitalized.

Apa itu kWh Meter Pra Bayar?
kWh meter pra bayar adalah kWh meter yang mampu diisi dengan pulsa (anggap saja satuan baru dalam perhitungan pulsa/kWh [boleh direvisi: red]) untuk menjadi kuota daya dari PLN (kWh). Saya tidak akan membahas teknisnya, namun hanya membahas tentang peluang kWh meter pra-bayar pada saat ini.

Dipengaruhi paradigma serba instan dan on-line yang sedang ngetrend di masyarakat, kWh meter pra bayar dirancang untuk insert ke klas pangsa yang ada. Kemungkinan pangsa yang menerima tentunya yang cenderung memiliki karakter yang hampir sama menerima paradigma serba instan dan on-line. Pangsa yang dimaksud, tentunya juga dikarakterkan dengan kehidupannya sudah sedemikian rupa dibantu oleh kemudahan-kemudahan fasilitas, terkoneksi jejaring secara digitalized, dan terintegrasi secara otomatis. Bila pangsa tersebut dibagi menjadi individu dan massa (lembaga), maka pengelompokan pangsa menjadi lebih tegas dengan pembagian Kota dan Desa, Perumahan dan Perkampungan, Rumah dan apartemen/kost, kepentingan individu dan perusahaan, maka indikator ukuran siapa yang akan menerima kehadiran kWh meter jenis ini.

Nah dikarenakan, saya bergelut dengan Penerangan Jalan Umum (Street Lighting) maka saya tertarik untuk menganalisis tentang apakah kWh meter pra-bayar sudah dapat diterima? Mohon saya dibantu untuk menganalisisnya teman-teman!

PELUANG EFISIENSI PJU PADA 2010

TREND PEMBANGUNAN PJU 2010


Selama ini pembangunan PJU di Indonesia dikenal dengan beberapa model antara lain:

  1. Pembangunan PJU Sektoral
    Pembangunan PJU sektoral adalah pembangunan PJU yang dilaksanakan berdasarkan cluster dan terpisah dari rencana induk. Pembangunan ini didasarkan jumlah anggarannya yang khusus, rencana pelaksanaannya hanya pada ruas jalan tertentu, pemeliharaan PJU, penambahan PJU di daerah tertentu, dan bersifat sederhana.

    Karakter pembangunan PJU model ini dikarenakan hanya bersifat sederhana dan tidak mempertimbangkan efek dominonya, maka seringkali menimbulkan masalah di kemudian hari, misalnya pemeliharaan yang besar, pembayaran boros, dan sulit mengontrol aset.

    Model pembangunan PJU ini paling cocok berkembang di daerah perkampungan dan perumahan, atau di bawah klas penerangan jalan kolektor. PJU perkampungan dan perumahan memiliki ciri-ciri menekankan pada fungsi daripada kualitas, dengan demikian pertimbangannya lebih pada harga yang murah, kemudahan dalam memasang, kemudahan dalam mengganti, dan tidak peduli boros energi. Faktor keamanan, kenyamanan, keindahan, dan efisiensi tidak menjadi prioritas.

    Dikarenakan pilihan jatuh pada fungsi daripada kualitas, maka jenis tiang, jenis armatur, jenis lampu, kabel, dan instalasi untuk model pembangunan PJU ini sangat sederhana atau memiliki range kualitas spesifikasi rendah. Adapun jenis lampu, armatur, tiang, dan instalasinya hampir rata-rata adalah sebagai berikut:

    Jenis lampu daya kecil = Pijar (GLS), CFL, dan TL
    Jenis lampu daya besar = ML (lampu swa balas) -> boros sekali
    Tiang PJU = Ornamen yang menempel pada Tiang PLN
    Kabel instalasi = tidak ada sehingga tarifnya abonemen
  2. Pembangunan PJU Sistemik
    Pembangunan PJU sistemik adalah pembangunan PJU yang direncanakan dengan matang dan mematuhi standar peraturan, survey lapangan, pendataan aset, analisis PJU eksisting dari sisi photometrik, elektrisitas, dan tingkat pelayanan PJU, survey harga, pembuatan RAB, Analisis Harga Satuan (AHS), spesifikasi teknis, menghitung pemakaian energi, mempertimbangkan efisiensi daya dan rekening (RPJ), dan dilengkapi dengan gambar-gambar rencana dan dilaksanakan dengan benar, perawatan dan pemeliharaan, dan pertimbangan efisiensi diutamakan.

    Terdapat 2 karakter (pola) dari model Pembangunan PJU sistemik, yaitu:
    PJU Kabupaten
    PJU Kota

    PJU Kabupaten lebih banyak PJU swadaya daripada PJU Pemda, sehingga lampu-lampu seperti Pijar, LHE (CFL), TL, dan ML (swabalas) lebih banyak dari lampu sodium. PJU Kabupaten lebih banyak masih bertarif abonemen daripada PJU Kota yang rata-rata sudah ada/banyak meterisasi. Namun kedua-duanya, masih terbelit masalah-masalah yang hampir sama: sulit melacak data lapangan dan administrasi, boros energi yang mengakibatkan pembayaran bulanan (RPJ) memangkas habis pajak yang diterima (PPJ), masalah pertumbuhan lampu liar, dan instalasinya masih ala kadarnya.
  3. Pembangunan PJU Campuran
    Pembangunan PJU yang mencampur strategi Model 2 untuk pembuatan Masterplan namun dilaksanakan dengan Model 1 berdasarkan skala prioritas. Kelehamannya, adalah bila pekerjaan/kegiatan dimenangkan oleh pihak ketiga (kontraktor pelaksana) yang tidak memiliki pengalaman yang kuat dalam "memutasi data" sehingga yang didapat dari masterplan tidak optimal. Malahan yang lebih parah lagi, inginnya mengefisiensi energi dan RPJ, malah bertambah boros dan menambah beban RPJ. Ini yang disebut gagal mutasi.

PAYUNG HUKUM YANG COCOK
Untuk urusan payung hukum yang cocok untuk mengerjakan semua jenis model di atas adalah Kepres 80/2003. Namun khusus untuk model 2, mestinya juga bisa dipakai peraturan yang lain, misalnya memakai PP No 50/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah beserta lampiran-lampiran dan Kepmendagrinya. Karena peluang efisiensi penghematan energi dan pembayaran RPJ besar sekali, maka kerangka pelaksanaannya mestinya bisa memakai PP ini. Komposisi anggaran bisa dibuat dengan mematuhi PP No. 50/2007 dan Kepmendagrinya, dengan tujuan Efisiensi Energi dan Penghematan Pembayaran RPJ PJU. Pelaksanaan pengadaan bisa mengacu pada Keppres 80/2003 untuk menyeleksi perusahaan yang benar-benar berpengalaman dalam mengelola mutasi data, pencapaian efisiensi, dan penghematan RPJ.

Dengan PP No. 50/2007 ini apakah bisa PJU dibangun terlebih dahulu kemudian diangsur dengan hasil efisiensi yang bisa dicapai (ditargetkan) oleh Pemerintah melalui Perencanaan yang sudah dibuat?

Peluang untuk menggunakan PP No. 50/2007 untuk pembiayaan rehabilitasi dan efisiensi PJU dengan model pembayaran kepada pihak ketiga diangsur dengan hasil efisiensi pajak sampai lunas sangat potensi di daerah, khususnya di Kota/Kabupaten Pulau Jawa. Sayangnya dalam PP tersebut, tidak disebut dengan tegas tentang pekerjaan PJU merupakan obyek pembangunan kerjasama. Namun, bila pimpinan daerah bertekad untuk melakukan PP ini dalam merehabilitasi PJU yang sudah boros energi namun tidak efisien dalam pelayanan publik, harus berani. Karena bila dibiarkan berlarut-larut, fungsi pemerintah dalam daya guna aparatur negara khususnya dalam pengupayaan efisiensi energi dan pengeluaran anggaran tidak akan berperan.

SIAPA YANG MAU PROYEK?

SIAPA YANG BANYAK MENYERAP ANGGARAN KITA?
MENGUKUR RANGE ABSORBSI
[Kiita....]



Menurut berita, anggaran DIPA 2010 mencapai 1.047,7 triliun atau 17.5% dari PDB. Data dari Media Indonesia (Rabu, 6 Januari 2010) tertulis DIPA sektoral, instansi, pusat, daerah, dan kementrian sejumlah 13.770 senilai Rp295.06 T; DIPA dekonsentrasi untuk provinsi sebanyak 2.066, senilai Rp26.86 T; DIPA tugas perbantuan untuk provinsi, kabupaten, kota sebanyak 2.859 senilai Rp6.81 T; DIPA dana transfer ke daerah sebanyak 235.01 T yang terdiri dari DIPA dana alokasi umum (DAU) untuk 33 provinsi dan 490 kabupaten/kota senilai Rp203.5 T, DIPA otonomi khusus untuk Aceh, Papua, dan Papua Barat senilai Rp10.41 T, dan DIPA untuk dana alokasi khusus (DAK) senilai Rp21.1 T.



Menurut kementrian yang menerima DIPA, Depdiknas mendapat Rp55.2 T, Dephan Rp42.3 T, Departemen PU Rp34.8 T, Depag Rp27.2 T, Polri Rp27.2 T, Depkes Rp21.4 T, dan Dephub Rp15.8 T.



Uang sebesar ini akan diserap oleh departemen, lembaga, pemerintah propinsi, pemerintah kota, dan pemerintah kabupaten untuk dua hal yaitu: biaya rutin dan biaya proyek. Biaya rutin merupakan biaya reguler seperti gaji pegawai, biaya pemeliharaan, biaya swakelola, dan lain-lain.



BERAPA YA KIRA-KIRA ANGGARAN UNTUK PEMBANGUNAN DI DAERAH

DIPA untuk DAU, misalnya, sebesar Rp203.5 T dibagi dengan jumlah kota/kabupaten--sebanyak 490 kabupaten/kota, maka rata-rata per kota/kabupaten menerima DAU sebesar Rp400-an miliar per kabupaten/kota. Bila ditambah dengan komponen-komponen PAD lain, kira-kira menjadi Rp600-an miliar. Jika penyerapan anggaran sebesar Rp600 miliar tersebut, memiliki komposisi 60% untuk anggaran rutin (gaji pegawai, anggaran pemeliharaan, dan pekerjaan swakelola) dan 40% untuk anggaran pembangunan. Dari komposisi ini, maka anggaran yang kemungkinan terserap oleh kelompok sasaran (sebut perusahaan), dapat dianalisis. Asumsi Keppres 80/2003 memiliki kebijakan memihak pasar dalam negeri, pengembangan perusahaan kecil, dan koperasi.

Kelompok sasaran dibagi menjadi Jawa dan Luar Jawa. Kelompok sasaran Jawa, rata-rata Kota/Kabupaten memiliki Perusahaan Non-Kecil (PNK) >10 ada 1 perusahaan, PNK 5 - 10 M ada 10 perusahaan, PNK 1 - 5 ada 15 Perusahaan Kecil (PK) ada 200. Sedangkan kelompok sasaran Luar Jawa, rata-rata Kota/Kabupaten memiliki komposisi PNK > 10 M tidak ada, PNK 5 - 10 M ada 5, PNK 1 - 5 M ada 10, PK ada 100. Maka dari komposisi ini akan dihasilkan probabilitas penyerapan terhadap anggaran adalah sebagai berikut:

Diketahui:
Anggaran Pembangunan = 40% x Rp600 M = Rp240 M

Kelompok Sasar Jawa dan Probabilitas (P):
PNK > 10 M = Daya Serap Maks = 8, ada 1, P = Rp240M/(8x1) = 30 M
PNK 5 - 10 M = Daya Serap Maks = 8, ada 10, P = Rp240M/(8x10) = 3 M
PNK 1 - 5 M = Daya Serap Maks = 8, ada 15, P = Rp240M/(8x15) = 2 M
PK < 500 J = Daya Serap maks =6, ada 200, p =Rp240M/(6x200) = 0.2 M

Kelompok Sasar Luar Jawa dan Probabilitas (P):
Daya Serap Maks = 8, ada 0, P = Rp240/(8x0) = 0 M
PNK 5 - 10 M = Daya Serap Maks = 8, ada 5, P = Rp240M/(8x5) = 6 M
PNK 1 - 5 M = Daya Serap Maks = 8, ada 10, P = Rp240M/(8x10) = 3 M
PNK < 500 J =Daya Serap Maks =6, ada 100, p =Rp240M/(6x100) = 0.4 M.


Melihat analisis di atas, terlihat bahwa peluang (P) yang paling besar menyerap anggaran adalah perusahaan besar (PNK). Semakin besar perusahaan, semakin komplit legalitasnya, administrasi, kualifikasi, teknis, dan kemampuan keuangan akhirnya semakin besar pula perusahaan tersebut memiliki peluang mendapatkan jatah anggaran. Perusahaan-perusahaan yang memiliki kelengkapan, adalah perusahaan-perusahaan yang berada di kota-kota besar dan rata-rata berada di Pulau Jawa. Sehingga, penyerapan yang paling besar dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang lebih dekat dengan sumber-sumber.

Dengan kata lain, anggaran DIPA sebesar 1.047.7 T pun, akan diserap oleh perusahaan-perusahaan raksasa, sementara perusahaan-perusahaan kecil dan koperasi hanya menjadi penonton di daerah masing-masing.

Demikian tulisan ini dibuat, hanya sekedar untuk mencoba memperkirakan siapa yang mampu menyerap anggaran sebesar itu.